Jumat, 13 April 2012

tes kemampuan gerak umum


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Aspek Tes Gerak Umum
Tes kemampuan fisik umum melibatkan unsur, lompat, manjat dan lempar. Tes kemampuan umum bergerak ini meliputi tes kelincahan, kekuatan, keseimbangan dan kelentukan. Tes kelincahan misalnya shuttle run, tes kekuatan meliputi push up, sit-up dan pull up, tes keseimbangan misalnya meniti bangku swedia, tes kelenturan misalnya cium lutut.
Tes dalam bidang kemampuan gerak umum dipelopori oleh Sargent pada tahun 1880-an yang bertujuan untuk menilai kemampuan berolahraga (athletic ability) bagi pria. Pada tahun 1901 sangat mengembangkan tes yang terdiri dari enam latihan sederhana yang harus dilakukan dalam periode waktu 30 menit tanpa istirahat.
            David K. Brace (1927) mengembangkan tes kemampuan gerak yang diberi nama:  Brace Motor Ability Test dan terkenal untuk tujuan mengelompokan dan mengukur pencapaian kemampuan gerak umum.Namun Mc. Cloy menyarankan bahwa tes Brace tersebut pada dasarnya adalah :  Tes Motor Educability  yaitu suatu tes yang bertujuan untuk mengukur mudah atau tidaknya seseorang menerima atau mempelajari ketangkasan baru, dan setelah banyak melakukan penelitian maka Mc. Cloy kemudian merevisi tes dari Brace dalam usaha untuk lebih meningkatkan validitasnya sebagai alat kur tersebut. Hasil dari penyempurnaan tersebut dikenal dengan nama : IOWA Brace Test.
                        Pengukuran general motor ability, secara teoritis akan memberi kemampuan umum yang mencakup berbagai faktor yang terdapat di dalam berbagai jenis fisik. Tes ini merupakan tes batre yang terdiri dari beberpaa butir tes. Motor ability adalah kemampuan umum seseorang untuk bergerak atau kapasitas seseorang untuk dapat melakukan macam-macam gerakan yang memerlukan keberanian dalam olahraga. Dalam Nurhasan ( Johnson dan Nelson, 1969) mengemukakan bahwa kemmapuan gerak umum terdiri dari beberapa butir tes untuk mengukur mengenai aspek, kecepatan, daya, kelincahan, koordinasi mata dan tangan, keseimbangan, terkadang terdapat beberapa butir tes mengenai aspek kekuatan dan edurance.
2.2 Jenis- jenis Tes Gerak Umum
Jenis- jenis Tes Motor Ability yaitu:
1.      Carpenter Motor Ability Tes
Tujuan                               : Mengukur kemampuan gerak secara umum
  siswa- siswa     sekolah dasar.
Kelas                                 : 1,2,dan3
Jenis Kelamin                    : Laki- laki dan Perempuan
Perlengkapan/ alat             : Matras, pita, pengukur, peluru yang
  beratnya 4 ibs dan formulir tes.
Butir- butir tes                   : Stending Bord Jump, Shot-put, Berat badan
Administrasi Tes:
        I.            Standing Broad jump
Tujuan             : Mengukur komponen power otot tungkai.
Alat/ fasilitas   : pita ukuran, bak pasir/ matras, bendera juri
Pelaksanaan     :  Orang coba berdiri pada papan tolak dengan lutu ditekuk sampai membentuk sudut + 45º kedua lengan lurus kebelakang kemudian orang coba menolak kedepan dengan kedua kaki. Orang coba diberi kesempatan 3 kali percobaan.
Skor:  Jarak lompatan terbaik yang diukur mulai dalam papan tolak sampai batas tumpuan kaki/ badan yang terdekat dengan papan tolak dari 3 kali percobaan.
     II.            Shot-Put
Tujuan             : Mengukur power lengan
Pelaksanaan        :   Subjek berdiri dalam lingkungan tolak peluru sambil memegang peluru yang beratnya 4 pound yang diletakkan dekat leher dan bahu kemudian bergerak kedepan dengan hop dan segera menolak peluru tersebutkedepan sejauh mungkin. Kecondongan badan pada saat akan menolak peluru membentuk sudut + 45 derajat. Peluru tesebut tidak dilempar melainkan ditolak dan step tidak boleh keluar dari lingkungan. Subjek diberikan kesempatan 3 kali percobaan.
Skor                 :     Di ambil jarak yang terjauh dengan timbangan ketiga tolakan tersebut dan diukur sampai mendekati satu kaki.
   III.            Berat Badan
Subjek berat badanya diukur dengan timbangan berat dicatat sampai mendekati satu pound. Cara menentukan skor secara keseluruhan dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
a)      Untuk anak laki- laki
Skor keseluruhan = standing broad jump + 2,5 (shot- put)
+ 0,5 (berat badan).
b)      Untuk anak perempuan
Skor keseluruhan = hasil standing broad jump + 1,5 (shot- put) + 0,05 (berat badan)
Norma – norma berdasarkan pada persamaan di atas tersebut tidak tersedia. Tetapi, Indeks Efisiensi Fisik diperoleh dengan menggunakan soal tes yang sama dengan persamaan sebagai berikut:
Anak laki–laki : 0,1 Broad Jump + 2,5 shot put-berat badan
Anak perempuan
    : 0,5 Broad Jump + 3 shot put-berat badan
2.      Barrow motor ability
Tujuan                   : membuat klasifikasi, bimbingan, dan penentuan
  prestasi
Level                     : mahasiswa pria, siswa pria sekolah menengah atas,  
  dan siswa pria sekolah menengah pertama.
Perlengkapan/ alat : matras, pita pengukur, bola soft ball, stop watch,
  bola basket dan tongkat
                 Butir tes                 : Standing borad jump, soft ball throw, zig zag run,
  wall pass, medicine ball put, 60 yard dash  
 Administrasi tes         :
        i.            Standing Broad Jump
Tujuan             : mengukur komponen power otot tungkai.
Alat/ fasilitas   : pita ukuran, bak pasir/ matras, bendera juri.
Pelaksanaan     : orang coba berdiri pada papan tolak dengan lutut ditekuk sampai membentuk sudut 45 º kedua lengan lurus kebelakang kemudian orang coba menolak kedepan dengan kedua kaki. Orang coba diberi kesempatan 3 kali percobaan.
Skor     :   Jarak lompatan terbaik yang diukur mulai dalam papan tolak sampai batas tumpuan kaki/ badan yang terdekat dengan papan tolak dari 3 kali percobaan.
      ii.            Soft Ball Throw
Tujuan             : mengukur power lengan
Alat/ fasilitas   :  bola soft ball, pita pengukur
Pelaksanaan     :  subjek melempar bola soft ball sejauh mungkin di belakang garis batas. Subjek diberi kesempatan 3 kali lemparan.
Skor                 :  jarak lemparan terjauh dari ketiga lemparan, dan dicatat sampai
mendekati feet.
    iii.            Zigzag run
Tujuan : untuk mengukur kelicahan gerak.
Peralatan yang diperlukan adalah : diagram, tonggak pemancang dan stopwatch.
Prosedur pelaksanaan : testee berdiri dibelakang garis start, setelah ada aba – aba’’ya’’,
Ia Lari secepat mungkin mengikkuti arah panah dalam diagram lapangan sampai, melewati garis finish. Testee diberi kesempatan melakukan tes tiga kali dan dinyatakan gagal apabila pada saat berlari, menjatuhkan tongkat pancang atau tidaka sesuai dengan arah diagram lapangan.
Pencatatan score : waktu tempuh yang terbaik dari tiga kali kesempatan dicatat sampai 1/10 detik.
Diagram lapangan:
 


                                                                               10 feet


                                      
                                       16 feet
     iv.            Wall pass
Tujuan : untuk mengukur koordinasi mata dan tangan.
Perlatan : dinding rata, bola basket dan stopwatch.
Prosedur pelaksanaan : testee berdiri dibelakang garis batas sambil memegang bola dengan kedua tangan didepan dada. Setelah ada aba – aba ‘’ ya ‘’, ia segera melakukan gerakan lempar tangkap bola kedinding selama 15 detik.
Pencatatan score : jumlah gerakan lempar – tangkap bola yang berhasil dilakukan selama 15 detik dicatat sebagai score akhir.



Diagram lapangan tes :


                                    Dinding
                        Rata
                                                        19 feet garis batas
X(subjek)

       v.            Medicine Ball- Put
Tujuan                   : mengukur power otot lengan.
Alat/ pelaksanaan  : bola medicine
Pelaksanaan           : subjek berdiri dibelakang garis batas sambil memegang bola didepan dadadengan posisi badan condong 45 drajat. Kemudian bola didorong kedepan secepat dan sekuat mungkin sebanyak tiga kali lemparan masing- masing selama 15 detik.
Skor                       : jumlah bola yang menyentuh atau memantul kedin-ding selama 15 detik.
     vi.            Lari 60 Yard Dash
Tujuan                   : mengukur kecepatan
Alat/ fasilitas         : stop  watch, lintasan yang berjarak 80 yard.
Pelaksanaan           : subjek lari secepat mungkin dengan menempuh jarak 60
  yard subjek diberi kesempatan melakukan tes uji hanya 
  satu kali.
      Skor                       : waktu dari mulai aba- aba ya sampai subjek tersebut
   melewati garis finish waktu dicatat sampai 1/ 10 detik
Cara men- skor keseluruhan (batre) digunakan rumus (General Motor Ability Scoring) yaitu:
Rumus :
Skor Keseluruhan = 2 (standing broad jump) + 1,6 (soft G.M.A.S ) ball throw) + 1,6 (zig- zag ran) + 1,3 (wall pas) + 1,2 (medicine ball put) + 60 yard dash
System melakukan tes General Motor Ability di sesuaikan dengan panduan tes yang ada setelah itu masukkan semua hasil tes ke rumus yang ada dan akan mendapatkan hasil kemampuan gerak umum anda. Tujuan untuk melakukan tes gerak umum adalah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan gerak umum yang anda miliki setelah di rata- ratakan.
2.3    Test Motor Ability untuk Sekolah Dasar
Tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan gerak dasar bagi siswa sekolah dasar yang mempunyai reabilitas sebesar 0,93 dan validitas sebesar 0,87. Reliabilitas diperoleh dengan cara tes ulang, sedangkan validitas diperoleh dengan cara mengkorelasikan tes tersebut dengan kriteria yang digunakan yaitu gabungan dari butir tes tersebut. Tes ini terdiri dari 4 butir tes yaitu:
a.       Tes shuttle run 4x 10 meter
Tujuan                    :     mengukur kelincahan dalam bergerak merubah arah
Alat                        :    stopwatch, lintasan yg lurus, dan datar dengan jarak 10 m antara garis start dan garis finish
Pelaksanaan           :    start dilakukan dengan berdiri. Pada aba-aba ‘bersedia’ orang coba atau berdiri dengan salah satu ujung jari sedekat mungkin dengan garis start.
b.      Tes lempar tangkap bola jarak 1 meter ke tembok
Tujuan                    :    mengukur kemampuan koordinasi mata dan tangan
Alat                        :    bola tenis, stopwatch dan tembok yang rata
Pelaksanaan           : subjek berdiri dibelakang garis batas sambil memegang bola tenis dengan kedua tangan di depan dada. Aba-aba ‘ya’ subjek dengansegera melakukanlempar tangkap ke dinding selama 30 detik
Skor                       :    dihitung jumlah tangkapan bola yang dapat dilakukan selama 30 detik
c.       Tes stork stand positional balance
Tujuan                    :    mengukur keseimbangan tubuh
Alat                        :    stopwatch
Pelaksanaan           :    subjek berdiri dengan tumpuan kaki kiri, kedua bertolak pinggang, kedua mata terpejam, lalu letakkan kaki kanan pada lutut kaki kiri sebelah dalam. Pertahankan sikap tersebut selama mungkin
Skor                       :    dihitung waktu yang dicapai dalam mempertahankan sikap di atas sampai dengan tanpa memindahkan kaki kiri dari tempat semula.
d.      Tes lari cepat 30 meter
Tujuan                    :    mengukur kecepatan lari
Alat                        :    stopwatch, lintasan lurus, dan rata sejauh 30 meter, bendera
Pelaksanaan           :    start dilakukan dengan berdiri. Pada aba-aba ‘bersedia’ subjek berdiri dengan salah satu ujung jari kakinya sedekat mungkin dengan garis start. Aba-aba ‘siap’ subjek siap untuk lari menuju garis finish dengan jarak 30 meter, sampai melewati garis finish.
Skor                       :    dihitung waktu yang ditempuh dalam melakukan lari sejauh 30 meter

teori behaviouristik dan teori kognitivisme


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Behaviorisme
Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran ini disebabkan rasa tidak puas terhadap teori psikologi daya dan teori mental state. Sebabnya ialah karena aliran-aliran terdahulu hanya menekankan pada segi kesadaran saja.  Berkat pandangan dalam psikologi dan naturalisme science maka timbullah aliran baru ini. Jiwa atau sensasi atau image tak dapat diterangkan melalui jiwa itu sendiri karena sesungguhnya jiwa itu adalah respons-respons psikologis. Aliran lama memandang badan adalah sekunder, padahal sebenamya justru menjadi titik pangkal bertolak. Natural science melihat semua realita sebagai gerakan-gerakan (movemant), dan pandangan ini mempengaruji timbulnya behaviorisme. Metode instrospeksi sesungguhnya tidak tepat, sebab menimbulkan pandangan yang berbeda-beda terhadap objek luar. Karena itu harus dkarai metode yang objektif dan ilmiah. Dari eksperimen menunjukkan bahwa tikus dapat membedakan antara wama hijau dan wama merah dan dapat pula dilatih.Jadi kesadaran itu tiada gunanya.
Dalam behaviorisme, masalah matter (zat) menempati kedudukan yang utama. Dengan tingkah laku segala sesuatu tentang jiwa dapat diterangkan. Behaviorisme dapat menjelaskan segala kelakuan manusia secara seksama dan menyediakan perogram pendidikan yang efektif. Dari uraian tersebut, ternyata konsepsi behaviorisme besar pengaruhnya terhadap masalah belajar. Belajar ditafsirkan sebagai latihan-latihan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Dengan memberikan rangsangan (stimulus), maka anak akan mereaksi dengan respons. Hubungan situmulus - respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pada belajar, jadi pada dasamya kelakuan anak adalah terdiri atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu. Dengan latihan-latihan pembentukan maka hubungan-hubungan itu akan semakin menjadi kuat. Inilah yang disebut S-R Bond Theory. Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakakn oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “ Contemporary Behaviorists” atau jg disebut “S-R Psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian, dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-rekasi behavioral dengan stimulasinya.
Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut. Teori-teori yang mengawali perkembangan psikologi behavioristik
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Oleh karena itu, teori ini juga dikenal dengan teori conditioning. Tokoh-tokoh psikologi behavioristik mengenai belajar ini antara lain adalah : Pavlov, Watson, Gutrie dan Skinner.
Psikologi aliran behavioristik mulai mengalami perkembangan dengan lahimya teori-teori tentang belajar yang dipelopori oleh Thondike, Pavlov, Wabon, dan Ghuyhrie. Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang berharga mengenai hal belajar.
Pada mulanya pendidikan dan pengajaran di Amerika serikat di dominasi oleh pengaruh Thondike (1874-1949). Teori belajar Thondike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini sering disebut “trial dan error leaming” individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial and error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu. Thondike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang antara lain kucing, tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu. Dalam hal itu, objek mencoba berbagai cara beraksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu rekasi dengan stimulasinya.
Ciri-ciri belajar dengan “trial and error” yaitu ada motif pendorong aktivitas, ada berbagai respon terhadap situasi, ada eliminasi respon-respon yang gagal / salah dan ada kemajuan rekasi-reaksi mencapai tujuan. Dari penelitiannya itu Thondike menemukan hukum – hukum : (1) “law of readiness”, jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan (2) “law of exercise”, makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulus respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”. (3) “law of effect” , bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respon dan dibarengi dengan “state of affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bilamana hubungan dibarengi “state of affairs” yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang.
Ada tiga jenis teori belajar menurut teori Behaviorisme yaitu teori respondent conditioning, operant conditioning, observational learning atau social cognitive learning
  1. Respondent Conditioning
Sementara Thondike mengadakan penelitiannya, di Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) juga menghasilkan teori belajar yang disebut “classkal conditioning” atau “stimulus substitution”. Mula-mula teori conditioning ini dikembangnkan oleh Pavlov (1972). Dasar pemikiran bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan respon yang dapat diamati dan diramalkan. Guy R. Lefrancois (1985) menjelaskan bahwa kondisi tertentu (yang disebut stimuli atau rangsangan) dapat mempengaruhi individu dan membawa kearah perilaku (respon) yang diharapkan.
Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Ia melakukan percobaan terhadap anjing. Anjing tersebut diberi makanan dan diberi lampu. Pada saat diberi makanan dan lampu keluarkan respon anjing tersebut berupa keluamya air liur.
Demikian juga jika dalam pemberikan makanan tersebut disertai dengan bel, air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel atau lampu diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebutu sebagai perangsangan yang bersyarat, sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat.
Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat tersebut, anjing memberikan respons berupa keluamya air liur. Selanjutnya, ketika perangsang bersyarat (bel, lampu) diberikan tanpa perangsang tak bersyarat anjing tersebut tetap memberikan respon dalam bentuk keluamya air liur. Oleh karena perangsang bersyarat (sebagai pengganti perangsang tak bersyarat : makanan) ini ternyata dapat menimbulakn respons, maka dapat berfungsi sebagai conditioned. Karena itu, teori Pavlov ini dikenal teori classkal conditioning. Menurut Pavlov pengkondisian yang dilakukan pada anjing demikian ini, dapat juga berlaku pada manusia.
Teori kondisioning Pavlov tersebut dapat dimodelkan sebagai berikut :
Bel / lampu + makan
® air liur (berulang-ulang)
Bel / lampu ® air liur
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
  1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
  2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Teori kondisioning ini lebih lanjut dikembangkan oleh Watson (1970) adalah orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Pavlov. Watson berpendapat, bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons bersyarat melalui stimulus pengganti.
Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus-respon baru melalui “conditioning”. Salah satu percobaannya adalah terhadap anak umur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan proses ekstinksi, dengan mengulang stimulus bersyarat tanpa di barengi stimulus tak bersyarat.
E.R. Guthrie memperluas penemuan Watson tentang belajar. Ia mengemukakan prinsip belajar yang disebut “the law of association” yang berbunyi : suatu kombinasi stimulus yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimulus itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama anda akan mengerjakan hal serupa lagi. Menurut gutrie, belajar memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respon. Gutrie berpendapat, bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk. Efektif tidaknya hukuman tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan murid belajr ataukah tidak ?
Teori belajar kondisioning ini kemudian dikembangkan oleh Gutrie (1935-1942). Gutrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah : tingkah laku jelek dapat diubah menjadi baik. Teori Gutrie berdasarkan atas model penggantian stimulus saut ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi cenderung di ulang manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yang disebut dengan asosiasi.
Menurut Gutrie, setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus (dapat intemal dan dapat ekstemal) dan respon. Dalam situasi tertentu, banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respon. Asosiasi tersebut, dapat benar dan dapat juga salah. Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini, yaitu :
  1. Metode respon bertentangan. Misalnya saja, jika anak jijik terhadap sesuatu, sebutlah misalkan saja boneka, maka permainan anak yang disukai tersebut diletakkan di dekat boneka. Dengan meletakkan permainan di dekat boneka, dan ternyata boneka tersebut sebenamya tidak menjijikkan, lambat laun anak tersebut tidak jijik lagi kepada boneka. Peletakan permainan yang paling disukai tersebut dapat dilakukan secara berulang-ulang.
  2. Metode membosankan. Misalnya saja anak kecil suka mengisap rokok. Ia disuruh merokok terus sampai bosan ; dan setelah bosan, ia akan berhenti merokok dengan sendirinya.
  3. Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, maka lingkungan belajarnya dapat diubah-ubah sehingga ada suasana lain dan memungkinkan ia betah belajar.
Teori belajar respondent conditioning  penerapannya dilakukan pula oleh J. Wolpe (1958) untuk menangani reaksi cemas melalui kegiatan penurunan kepekaan secara sistematis. 
B.     Operant Conditioning
Tokoh dari teori belajar Operant Conditioning adalah B.F Skinner (1954) yg berpendapat bahwa belajar menghasilkan perubahan perilaku yg dapat diamati sedang perilaku dan belajar diubah oleh kondisi lingkungan.  Unsur dari teori ini adalah stimulus, respon dan konsekuensi. Perbandingan antara teori belajar classical conditioning dan operant conditioning dikemukakan oleh Skinner dan Lefrantcois.  Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
  1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
  2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
Menurut Skinner bahwa banyak respon yang tidak hanya dipancing stimuli tetapi dapat dikondisikan pada stimuli lain. Menurut Guy R. Lefrancois, perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:
Respondent Conditioning
(Pavlov)
Operant Conditioning
(Skinner)
Peserta didik disebut respondents yang dipancing reaksinya atas lingkungan (contoh : marah atau tertawa), menjawab jumlah saudara jika guru bertanya (reaksi otomatis atas situasi spesifik)
Peserta didik disebut operants  yang dipancing aksi instrumentalnya pada lingkungan (contoh : membaca buku, menyanyi) sebagai tindakan spontan, kendali dari dirinya sendiri
Generalisasi adalah pola merespon yang dilakukan individu terhadap lingkungan atau stimuli serupa, sedangkan diferensiasi adalah pola merespon individu dengan cara mengekang diri untuk tidak merespon karena ada perbedaan antar 2 situasi serupa meski tidak sama yang sebenarnya sesuai direspon.
Penerapan operant conditioning dalam pendidikan dikemukakan oleh Fred Keller (1968) yaitu guru merancang pembelajaran dan pebelajar yang menentukan kecepatan dan jangka waktu belajarnya. Penerapan lainnya adalah berupa metode perubahan perilaku. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
C.     Teori Observational Learning atau Socio Cognitive Learning
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Albert Bandura (1969) menjelaskan bahwa belajar observasi merupakan sarana dasar untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah pola perilaku yang sudah dikuasai yang juga disebut social learning karena yang menjadi objek observasi pada umumnya perilaku belajar orang lain.Social learning mengkaji rangkaian perilaku yang dapat diterima secara sosial dalam kondisi apa saja. Albert Bandura mengartikan belajar sosial sebagai aktifitas meniru melalui pengamatan (observasi).
Konsep dan prinsip peniruan dalam belajar sosial dapat di jelaskan sebagai berikut:
a.       Model yang ditiru peserta didik dapat berupa (1) real-life model (2) symbolic-model (3) representantive model
b.      Belajar sosial melalui peniruan dapat memberi penguasaan prilaku awal itu bersifat kontiguitas (kerapatan moment amat dekat dengan kejadian yang diamati) teori ini bisa juga disebut teori modeling kontiguitas, penguatan melalui insetif (hadiah) inilah yang membuat individu belajar, apakah itu sebagai self-reinforcement  ataupun sebagai external-reinforcement
c.       Faktor yang mempengaruhi prilaku meniri adalah (1) konsekuensi respon model pada individu dalam kerangka hadiah dan hukuman (2) karakteristik dijelaskan dalam latar belakang individu yang cenderung meniru apabila:
ü  Merasa kurang harga diri atau kurang cakap karena terlalu sedikit diberi pujin setelah mengkinerjakan prilaku yang cocock dengan prilaku yang prososial
ü  Pernah dipuji karena mnegkinerjakan prilaku prososial
ü  Sering dipuji karena berkompromi dengan mengkinerjakan prilaku prososial sehingga tergantu pada pujian itu
ü  Memandang diri lebih mirip dengan model dalam beberapa prilaku atau keadaan tertentu
ü  Terangsan secara emosional sebagai akibat stres yang bersumber darilingkungan atau pengaruh bahan pemabuk
John W. Santrok (1981) menyebut pandangan albert Bandura tentang teori belajar sosial sebagai teori belajar sosial kognitif,didasarkan pemikiran bahwa meniru prilaku model melibatkan proses-proses psikologis yang sangat bersifat kognitif:
a.       Perhatian (atention)
b.      Ingatan (retention)
c.       Kinerja Motorik (motorik repruduction)
d.      Kondisi penguatan dan insentif
Menurut Bandura bahwa prilaku individu dipengaruhi oleh respon pada lingkungan,sekaligus individu membentuk lingkungannya sendiri melalui pengendalian stimuli lingkungan,Walter Mischel (1973) cenderung menggunakan istilah cognitive social-learning theeory, karena didalamnya terkandung hal-hal berikut:
a.       Harapan (expectancies)
b.      Strategi memproses informasi memaknai stimuli secara pribadi
c.       Anutan nilai-subyektif diletatkan pada stimuli (subjective stimuli values)
Rancangan dam sistem-diri (self-regulatory system and plans)  hasil belajar diukur berdasarkan terjadi-tidaknya perubahab tingkah laku yang baru,perubahan tingkal laku itu menyangkut perubahan tingkah laku kognitif, tingkah laku afektif dan tingkah laku psikomotor. Menurut  pendapat Stanton (1978) hasil belajr dalam ranah kognitif,afektif,dan psikomotor sebaiknya seimbang. Pada prinsipnya teori belajar Behavirisme menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu berinteraksi dengan lingkungannya.
Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.
3. Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.


7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Belajar diartikan sebagai perolehan hasil belajar dan ilmu pengetahuan. Forrset W. Parkay dan Beverly Hardeastle Stanford (1992) menyebut belajar sebagai kegiatan pemrosesan informasi, membuat penalaran,mengembangkan pemahaman dan meningkatkan penguasaan keterampilan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran, diartikan sebagai upaya pengaturan peristiwa yang ada diluar diri seseorang peserta didik, dan dirancang dan dimanfaatkan untuk memudahkan proses belajar. Pengturan situasi pembelajaran biasanya disebut management of learning and conditions of Learning.
                        Dalam persepsi guru, pembelajaran bisa dimaknai sebagai (1) sebagai pengetahuan bidang study dengan peserta didik lain secara efektif dan efesien, (2) mencipta dam memelihara relasi antara pribadi antar dosen dengan peserta didik serta mengembangkan kebutuhan bertumbu- kembang di bidang yang dibutuhkan peserta didik, dan (3) menerapkan kecakapan teknis dalam mngelola sekaligus sejumlah pesreta didik yang belajar.

2.2 Teori kognitivisme
Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif, yang didasarkan pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli teori belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan dalam aktifitas belajar dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu pembendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya. Psikologis kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perhatian utama psikologi kognitif adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasar schemata atau struktur mental individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya.
            Struktur mental individu tersebut berkembangnya sesuai dengan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan phisik maupun lingkungan social. Itulah sebabnya teori belajar kognitivisme dapat disebut sebagai (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori kognisi social, dan (3) teori pemrosesan informasi.
a.      Teori Perkembangan Kognitif
Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang memandang individu sebagai struktur kognitif, peta mental, skema atau jaringan konsep guna memahami dan menanggapi pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan. Individu bereaksi pada lingkungan melalui upaya mengasimilasikan berbagai informasi ke dalam struktur kognitifnya. Dalam proses asimilasi tersebut tersebut, perilaku individu diperintah struktur kognitifnya. Waktu mengakomodasi lingkungan, struktur kognitif diubah lingkungan. Asimilasi ditempuh ketika individu menyatukan informasi baru ke pembendaharaan informasi yang sudah dimiliki atau diketahuinya kemudian menggantikannya dengan informasi terbaru. Individu mengorganisasikan makna informasi itu ke dalam ingatan jangka panjang. Tiap tahapan perkembangan menggambarkan  isi struktur kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan.

b.      Teori Kognisi Sosial
Teori ini dikembangkan oleh L.S. Vygotsky, yang didasari oleh pemikiran bahwa budaya yang berperan penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana berfikir. Konsep dasar teori ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
(1)   Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara yaitu melalui budaya dan lingkungan budaya.
(2)   Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses percakapan dengan cara berbagi pengalaman belajar dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama orang tua, guru, saudara, dan teman sebaya.
(3)   Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab itu di ambil alih oleh individu yang bersangkutan.
(4)   Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian besar perbendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
(5)   Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi intelektual.
(6)   Internalisasi merujuk pada proses belajar yang pertama kali hadir ke kehidupan individu melalui bahasa.
(7)   Terjadi zone of proximal development atau kesenjangan antara yang sanggup dilakukan individu sendiri dengan yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa.
(8)   Yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak diantara pemecahan masalahnya ditopang orang dewasa.
(9)   Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga social sebagaimana orangtua, saudara, individu dan teman sebaya yang lebih cakap sangat memberi sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual individu.
Konsep zone of proximal development merujuk pada zona yang mana individu memerlukan bimbingan guna melanjutkan belajarnya. Dalam pembelajaran ada scaffolding yaitu pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari pemahaman dan kecakapan peserta didik saat ini. Pendekatan ini menghasilkan balikan (feedback) segera serta memacu peserta didik menguasai kecakapan pemecahan masalah secara mandiri.
c.       Teori Pemrosesan Informasi
Berdasarkan riset linguistic, psikologi, antropologi, dan ilmu computer, dikembangkan model berpikir. Pusat kajiannya pada proses belajar dan menggambarkan cara individu memanipulasi symbol dan memproses informasi. Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf structural system informasi, yaitu :
1.      Sensory atau intake register: informasi masuk ke system melalui sensory register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam system, informasi masuk ke working memory yang digabungkan dengan informasi di long term memory.
2.      Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working memory, dan di sini berlangsung berfikir sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.
3.      Long-tern memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik. Kelemahannya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.
Diasumsikan, setika individu belajar, di dalam dirinya berlangsung proses kendali atau pemantau bekerjanya system yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk menyimpan informasi ke dalam system long-term memory (materi memory ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi kreativitas).