BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Behaviorisme
Behaviorisme
adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran ini disebabkan
rasa tidak puas terhadap teori psikologi daya dan teori mental state. Sebabnya
ialah karena aliran-aliran terdahulu hanya menekankan pada segi kesadaran saja. Berkat pandangan
dalam psikologi dan naturalisme science maka timbullah aliran baru ini. Jiwa
atau sensasi atau image tak dapat diterangkan melalui jiwa itu sendiri karena
sesungguhnya jiwa itu adalah respons-respons psikologis. Aliran lama memandang
badan adalah sekunder, padahal sebenamya justru menjadi titik pangkal bertolak.
Natural science melihat semua realita sebagai gerakan-gerakan (movemant), dan
pandangan ini mempengaruji timbulnya behaviorisme. Metode instrospeksi
sesungguhnya tidak tepat, sebab menimbulkan pandangan yang berbeda-beda
terhadap objek luar. Karena itu harus dkarai metode yang objektif dan ilmiah.
Dari eksperimen menunjukkan bahwa tikus dapat membedakan antara wama hijau dan
wama merah dan dapat pula dilatih.Jadi kesadaran itu tiada gunanya.
Dalam
behaviorisme, masalah matter (zat) menempati kedudukan yang utama. Dengan
tingkah laku segala sesuatu tentang jiwa dapat diterangkan. Behaviorisme dapat
menjelaskan segala kelakuan manusia secara seksama dan menyediakan perogram
pendidikan yang efektif. Dari uraian tersebut, ternyata konsepsi behaviorisme
besar pengaruhnya terhadap masalah belajar. Belajar ditafsirkan sebagai
latihan-latihan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Dengan memberikan rangsangan (stimulus), maka anak akan
mereaksi dengan respons. Hubungan situmulus - respons ini akan menimbulkan
kebiasaan-kebiasaan otomatis pada belajar, jadi pada dasamya kelakuan anak
adalah terdiri atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus
tertentu. Dengan latihan-latihan pembentukan maka hubungan-hubungan itu akan
semakin menjadi kuat. Inilah yang disebut S-R Bond Theory. Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik
dikemukakakn oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “
Contemporary Behaviorists” atau jg disebut “S-R Psychologists”. Mereka berpendapat
bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau
penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian, dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-rekasi behavioral dengan
stimulasinya.
Guru-guru
yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku murid-murid
merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa
sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Kita
dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar
belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut. Teori-teori yang
mengawali perkembangan psikologi behavioristik
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Oleh karena itu, teori ini juga dikenal dengan teori conditioning. Tokoh-tokoh psikologi behavioristik mengenai belajar ini antara lain adalah : Pavlov, Watson, Gutrie dan Skinner.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Oleh karena itu, teori ini juga dikenal dengan teori conditioning. Tokoh-tokoh psikologi behavioristik mengenai belajar ini antara lain adalah : Pavlov, Watson, Gutrie dan Skinner.
Psikologi
aliran behavioristik mulai mengalami perkembangan dengan lahimya teori-teori
tentang belajar yang dipelopori oleh Thondike, Pavlov, Wabon, dan Ghuyhrie.
Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang berharga mengenai hal belajar.
Pada mulanya pendidikan dan pengajaran di Amerika serikat di dominasi oleh pengaruh Thondike (1874-1949). Teori belajar Thondike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini sering disebut “trial dan error leaming” individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial and error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu. Thondike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang antara lain kucing, tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu. Dalam hal itu, objek mencoba berbagai cara beraksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu rekasi dengan stimulasinya.
Pada mulanya pendidikan dan pengajaran di Amerika serikat di dominasi oleh pengaruh Thondike (1874-1949). Teori belajar Thondike disebut “connectionism”, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini sering disebut “trial dan error leaming” individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses “trial and error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu. Thondike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang antara lain kucing, tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu. Dalam hal itu, objek mencoba berbagai cara beraksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu rekasi dengan stimulasinya.
Ciri-ciri
belajar dengan “trial and error” yaitu ada motif pendorong aktivitas, ada berbagai
respon terhadap situasi, ada eliminasi
respon-respon yang gagal / salah dan ada kemajuan rekasi-reaksi mencapai
tujuan. Dari penelitiannya itu Thondike menemukan hukum – hukum : (1) “law of readiness”, jika reaksi terhadap stimulus
didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi
memuaskan (2) “law of exercise”, makin
banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan stimulus respon, makin kuat
hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”. (3) “law of effect” , bilamana terjadi hubungan antara
stimulus dan respon dan dibarengi dengan “state of affairs” yang memuaskan,
maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bilamana hubungan dibarengi “state of
affairs” yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang.
Ada
tiga jenis teori belajar menurut teori Behaviorisme yaitu teori respondent conditioning, operant
conditioning, observational learning atau social cognitive learning
- Respondent
Conditioning
Sementara
Thondike mengadakan penelitiannya, di Rusia Ivan Pavlov (1849-1936) juga
menghasilkan teori belajar yang disebut “classkal conditioning” atau “stimulus
substitution”. Mula-mula teori conditioning ini dikembangnkan oleh Pavlov
(1972). Dasar pemikiran bahwa perilaku atau tingkah laku
merupakan respon yang dapat diamati dan diramalkan. Guy R. Lefrancois (1985)
menjelaskan bahwa kondisi tertentu (yang disebut stimuli atau rangsangan) dapat
mempengaruhi individu dan membawa kearah perilaku (respon) yang diharapkan.
Teori
Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam percobaan
ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada
anjing. Ia melakukan percobaan terhadap anjing. Anjing tersebut
diberi makanan dan diberi lampu. Pada saat diberi makanan dan lampu keluarkan
respon anjing tersebut berupa keluamya air liur.
Demikian juga jika dalam pemberikan makanan tersebut disertai dengan bel, air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel atau lampu diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebutu sebagai perangsangan yang bersyarat, sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat.
Demikian juga jika dalam pemberikan makanan tersebut disertai dengan bel, air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel atau lampu diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebutu sebagai perangsangan yang bersyarat, sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat.
Terhadap
perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat tersebut,
anjing memberikan respons berupa keluamya air liur. Selanjutnya, ketika
perangsang bersyarat (bel, lampu) diberikan tanpa perangsang tak bersyarat
anjing tersebut tetap memberikan respon dalam bentuk keluamya air liur. Oleh
karena perangsang bersyarat (sebagai pengganti perangsang tak bersyarat :
makanan) ini ternyata dapat menimbulakn respons, maka dapat berfungsi sebagai
conditioned. Karena itu, teori Pavlov ini dikenal teori classkal conditioning.
Menurut Pavlov pengkondisian yang dilakukan pada anjing demikian ini, dapat
juga berlaku pada manusia.
Teori
kondisioning Pavlov tersebut dapat dimodelkan sebagai berikut :
Bel / lampu + makan ® air liur (berulang-ulang)
Bel / lampu + makan ® air liur (berulang-ulang)
Bel / lampu
® air liur
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov
terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
- Law of Respondent Conditioning yakni
hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara
simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks
dan stimulus lainnya akan meningkat.
- Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah
diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Teori kondisioning ini lebih lanjut dikembangkan
oleh Watson (1970) adalah orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan
teori belajar berdasarkan hasil penelitian Pavlov. Watson berpendapat, bahwa
belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons
bersyarat melalui stimulus pengganti.
Menurut
Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional
berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh
hubungan-hubungan stimulus-respon baru melalui “conditioning”. Salah satu
percobaannya adalah terhadap anak umur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Rasa
takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan proses ekstinksi, dengan mengulang
stimulus bersyarat tanpa di barengi stimulus tak bersyarat.
E.R.
Guthrie memperluas penemuan Watson tentang belajar. Ia mengemukakan prinsip
belajar yang disebut “the law of association” yang berbunyi : suatu kombinasi
stimulus yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan
itu, apabila kombinasi stimulus itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika anda
mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang
sama anda akan mengerjakan hal serupa lagi. Menurut gutrie, belajar memerlukan
reward dan kedekatan antara stimulus dan respon. Gutrie berpendapat, bahwa
hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk. Efektif tidaknya hukuman
tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan murid belajr ataukah tidak ?
Teori
belajar kondisioning ini kemudian dikembangkan oleh Gutrie (1935-1942). Gutrie
berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah : tingkah laku jelek dapat
diubah menjadi baik. Teori Gutrie berdasarkan atas model penggantian stimulus
saut ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi cenderung di ulang
manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yang disebut dengan
asosiasi.
Menurut
Gutrie, setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus (dapat
intemal dan dapat ekstemal) dan respon. Dalam situasi tertentu, banyak stimulus
yang berasosiasi dengan banyak respon. Asosiasi tersebut, dapat benar dan dapat
juga salah. Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini, yaitu :
- Metode respon bertentangan. Misalnya saja, jika anak
jijik terhadap sesuatu, sebutlah misalkan saja boneka, maka permainan anak
yang disukai tersebut diletakkan di dekat boneka. Dengan meletakkan
permainan di dekat boneka, dan ternyata boneka tersebut sebenamya tidak
menjijikkan, lambat laun anak tersebut tidak jijik lagi kepada boneka.
Peletakan permainan yang paling disukai tersebut dapat dilakukan secara
berulang-ulang.
- Metode membosankan. Misalnya saja anak kecil suka
mengisap rokok. Ia disuruh merokok terus sampai bosan ; dan setelah bosan,
ia akan berhenti merokok dengan sendirinya.
- Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar,
maka lingkungan belajarnya dapat diubah-ubah sehingga ada suasana lain dan
memungkinkan ia betah belajar.
Teori belajar respondent conditioning penerapannya dilakukan pula oleh J. Wolpe
(1958) untuk menangani reaksi cemas melalui kegiatan penurunan kepekaan secara
sistematis.
B. Operant Conditioning
Tokoh dari teori belajar Operant Conditioning adalah B.F Skinner (1954) yg berpendapat bahwa
belajar menghasilkan perubahan perilaku yg dapat diamati sedang perilaku dan
belajar diubah oleh kondisi lingkungan. Unsur dari teori ini adalah stimulus, respon
dan konsekuensi. Perbandingan antara teori belajar classical conditioning dan operant
conditioning dikemukakan oleh Skinner dan Lefrantcois. Dari eksperimen
yang dilakukan B.F. Skinner menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
- Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku
diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
meningkat.
- Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus
penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin
Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan
oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
Menurut Skinner bahwa banyak respon yang tidak
hanya dipancing stimuli tetapi dapat dikondisikan pada stimuli lain. Menurut Guy
R. Lefrancois, perbedaan keduanya adalah sebagai berikut:
Respondent Conditioning
(Pavlov)
|
Operant Conditioning
(Skinner)
|
Peserta didik disebut respondents yang dipancing reaksinya atas lingkungan (contoh :
marah atau tertawa), menjawab jumlah saudara jika guru bertanya (reaksi
otomatis atas situasi spesifik)
|
Peserta didik disebut operants yang dipancing
aksi instrumentalnya pada lingkungan (contoh : membaca buku, menyanyi)
sebagai tindakan spontan, kendali dari dirinya sendiri
|
Generalisasi adalah pola merespon yang dilakukan
individu terhadap lingkungan atau stimuli serupa, sedangkan diferensiasi adalah
pola merespon individu dengan cara mengekang diri untuk tidak merespon karena
ada perbedaan antar 2 situasi serupa meski tidak sama yang sebenarnya sesuai
direspon.
Penerapan operant conditioning dalam pendidikan
dikemukakan oleh Fred Keller (1968) yaitu guru merancang pembelajaran dan
pebelajar yang menentukan kecepatan dan jangka waktu belajarnya. Penerapan
lainnya adalah berupa metode perubahan perilaku. Reber (Muhibin
Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan
oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
C. Teori Observational Learning atau Socio Cognitive
Learning
Teori belajar
sosial atau disebut juga teori observational learning adalah
sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori
belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura
memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus
(S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi
antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar
belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam
belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan
penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilakukan. Albert Bandura (1969) menjelaskan bahwa belajar observasi merupakan
sarana dasar untuk memperoleh perilaku baru atau mengubah pola perilaku yang
sudah dikuasai yang juga disebut social
learning karena yang menjadi objek observasi pada umumnya perilaku belajar
orang lain.Social learning mengkaji rangkaian perilaku yang dapat diterima
secara sosial dalam kondisi apa saja. Albert Bandura mengartikan belajar sosial
sebagai aktifitas meniru melalui pengamatan (observasi).
Konsep dan prinsip
peniruan dalam belajar sosial dapat di jelaskan sebagai berikut:
a.
Model yang ditiru peserta didik dapat
berupa (1) real-life model (2) symbolic-model (3) representantive
model
b.
Belajar sosial melalui peniruan dapat
memberi penguasaan prilaku awal itu bersifat kontiguitas (kerapatan moment amat
dekat dengan kejadian yang diamati) teori ini bisa juga disebut teori modeling
kontiguitas, penguatan melalui insetif (hadiah) inilah yang membuat
individu belajar, apakah itu sebagai self-reinforcement ataupun sebagai external-reinforcement
c.
Faktor yang mempengaruhi prilaku
meniri adalah (1) konsekuensi respon model pada individu dalam kerangka hadiah
dan hukuman (2) karakteristik dijelaskan dalam latar belakang individu yang
cenderung meniru apabila:
ü Merasa kurang harga diri atau kurang cakap karena terlalu sedikit diberi
pujin setelah mengkinerjakan prilaku yang cocock dengan prilaku yang prososial
ü Pernah dipuji karena mnegkinerjakan prilaku prososial
ü Sering dipuji karena berkompromi dengan mengkinerjakan prilaku prososial
sehingga tergantu pada pujian itu
ü Memandang diri lebih mirip dengan model dalam beberapa prilaku atau keadaan
tertentu
ü Terangsan secara emosional sebagai akibat stres yang bersumber
darilingkungan atau pengaruh bahan pemabuk
John W. Santrok
(1981) menyebut pandangan albert Bandura tentang teori belajar sosial sebagai
teori belajar sosial kognitif,didasarkan pemikiran bahwa meniru prilaku model
melibatkan proses-proses psikologis yang sangat bersifat kognitif:
a.
Perhatian (atention)
b.
Ingatan (retention)
c.
Kinerja Motorik (motorik
repruduction)
d.
Kondisi penguatan dan insentif
Menurut Bandura
bahwa prilaku individu dipengaruhi oleh respon pada lingkungan,sekaligus
individu membentuk lingkungannya sendiri melalui pengendalian stimuli
lingkungan,Walter Mischel (1973) cenderung menggunakan istilah cognitive
social-learning theeory, karena didalamnya terkandung hal-hal berikut:
a.
Harapan (expectancies)
b.
Strategi memproses informasi memaknai
stimuli secara pribadi
c.
Anutan nilai-subyektif diletatkan
pada stimuli (subjective stimuli values)
Rancangan dam
sistem-diri (self-regulatory system and plans) hasil belajar diukur berdasarkan
terjadi-tidaknya perubahab tingkah laku yang baru,perubahan tingkal laku itu
menyangkut perubahan tingkah laku kognitif, tingkah laku afektif dan tingkah
laku psikomotor. Menurut pendapat
Stanton (1978) hasil belajr dalam ranah kognitif,afektif,dan psikomotor
sebaiknya seimbang. Pada prinsipnya teori belajar Behavirisme menjelaskan bahwa
belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman individu berinteraksi
dengan lingkungannya.
Moh Surya (1997)
mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1. Perubahan
yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi
merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu
juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam
dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau
keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu
proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi
pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang
Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan
memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan
Psikologi Pendidikan.
2. Perubahan
yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau
keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan
dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi
pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang
mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika
dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap
dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat
dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.
3. Perubahan
yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang
terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan,
baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang
mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan
keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari
dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan
perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4. Perubahan
yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi
bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa
sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose
Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau
perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti
pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk
menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip
perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5. Perubahan
yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru,
individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya,
mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka
mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku
psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan
sebagainya.
6. Perubahan
yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh
dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam
dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan
keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam
diri mahasiswa tersebut.
7. Perubahan
yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar
pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi
pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin
memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan
yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan
tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki
kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas
dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8. Perubahan
perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan
hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula
perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang
“Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang
“Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang
guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan
dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Belajar diartikan
sebagai perolehan hasil belajar dan ilmu pengetahuan. Forrset W. Parkay dan
Beverly Hardeastle Stanford (1992) menyebut belajar sebagai kegiatan pemrosesan
informasi, membuat penalaran,mengembangkan pemahaman dan meningkatkan
penguasaan keterampilan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran, diartikan
sebagai upaya pengaturan peristiwa yang ada diluar diri seseorang peserta
didik, dan dirancang dan dimanfaatkan untuk memudahkan proses belajar.
Pengturan situasi pembelajaran biasanya disebut management of learning and
conditions of
Learning.
Dalam persepsi guru,
pembelajaran bisa dimaknai sebagai (1) sebagai pengetahuan bidang study dengan
peserta didik lain secara efektif dan efesien, (2) mencipta dam memelihara
relasi antara pribadi antar dosen dengan peserta didik serta mengembangkan
kebutuhan bertumbu- kembang di bidang yang dibutuhkan peserta didik, dan (3)
menerapkan kecakapan teknis dalam mngelola sekaligus sejumlah pesreta didik
yang belajar.
2.2 Teori kognitivisme
Teori
belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif, yang didasarkan
pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli teori belajar ini berupaya menganalisis
secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan dalam aktifitas belajar dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai
aktifitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan menggunakan
pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan
utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu pembendaharaan
pengetahuan pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya.
Psikologis kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari
dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perhatian utama psikologi kognitif
adalah upaya memahami proses individu mencari, menyeleksi, mengorganisasikan
dan menyimpan informasi. Belajar kognitif berlangsung berdasar schemata atau struktur mental individu
yang mengorganisasikan hasil pengamatannya.
Struktur mental individu tersebut
berkembangnya sesuai dengan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi
tingkat perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan
keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang
diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan phisik maupun lingkungan social.
Itulah sebabnya teori belajar kognitivisme dapat disebut sebagai (1) teori
perkembangan kognitif, (2) teori kognisi social, dan (3) teori pemrosesan
informasi.
a.
Teori
Perkembangan Kognitif
Teori
ini dikemukakan oleh Jean Piaget, yang memandang individu sebagai struktur
kognitif, peta mental, skema atau jaringan konsep guna memahami dan menanggapi
pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan. Individu bereaksi pada lingkungan
melalui upaya mengasimilasikan berbagai informasi ke dalam struktur
kognitifnya. Dalam proses asimilasi tersebut tersebut, perilaku individu
diperintah struktur kognitifnya. Waktu mengakomodasi lingkungan, struktur
kognitif diubah lingkungan. Asimilasi ditempuh ketika individu menyatukan
informasi baru ke pembendaharaan informasi yang sudah dimiliki atau
diketahuinya kemudian menggantikannya dengan informasi terbaru. Individu
mengorganisasikan makna informasi itu ke dalam ingatan jangka panjang. Tiap
tahapan perkembangan menggambarkan isi
struktur kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan.
b.
Teori
Kognisi Sosial
Teori
ini dikembangkan oleh L.S. Vygotsky, yang didasari oleh pemikiran bahwa budaya
yang berperan penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu
perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses
belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya
lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana berfikir. Konsep dasar
teori ini secara ringkas adalah sebagai berikut :
(1) Budaya
memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara yaitu
melalui budaya dan lingkungan budaya.
(2) Perkembangan
kognitif dihasilkan dari proses percakapan dengan cara berbagi pengalaman
belajar dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama orang tua, guru,
saudara, dan teman sebaya.
(3) Awalnya
orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab itu di ambil
alih oleh individu yang bersangkutan.
(4) Bahasa
adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian besar
perbendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
(5) Seraya
bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi
intelektual.
(6) Internalisasi
merujuk pada proses belajar yang pertama kali hadir ke kehidupan individu
melalui bahasa.
(7) Terjadi
zone of proximal development atau
kesenjangan antara yang sanggup dilakukan individu sendiri dengan yang dapat
dilakukan dengan bantuan orang dewasa.
(8) Yang
dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak diantara pemecahan
masalahnya ditopang orang dewasa.
(9) Interaksi
dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga social sebagaimana orangtua,
saudara, individu dan teman sebaya yang lebih cakap sangat memberi sumbangan
secara nyata pada perkembangan intelektual individu.
Konsep
zone of proximal development merujuk
pada zona yang mana individu memerlukan bimbingan guna melanjutkan belajarnya.
Dalam pembelajaran ada scaffolding yaitu
pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari pemahaman dan kecakapan
peserta didik saat ini. Pendekatan ini menghasilkan balikan (feedback) segera serta memacu peserta
didik menguasai kecakapan pemecahan masalah secara mandiri.
c.
Teori
Pemrosesan Informasi
Berdasarkan
riset linguistic, psikologi, antropologi, dan ilmu computer, dikembangkan model
berpikir. Pusat kajiannya pada proses belajar dan menggambarkan cara individu
memanipulasi symbol dan memproses informasi. Model belajar pemrosesan informasi
ini sering pula disebut model kognitif information
processing, karena dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf structural
system informasi, yaitu :
1. Sensory atau
intake register: informasi masuk ke
system melalui sensory register, tetapi
hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam system, informasi
masuk ke working memory yang digabungkan
dengan informasi di long term memory.
2. Working memory:
pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working memory, dan di sini berlangsung berfikir sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas
isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.
3. Long-tern memory, yang
secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga mampu menampung
seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik. Kelemahannya adalah betapa
sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.
Diasumsikan,
setika individu belajar, di dalam dirinya berlangsung proses kendali atau
pemantau bekerjanya system yang berupa prosedur strategi mengingat, untuk
menyimpan informasi ke dalam system long-term
memory (materi memory ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi
kreativitas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar