Jumat, 13 April 2012

teori kontruktivisme dan teori humanisme


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Konstruktivisme
                        Konsep dasar belajar menurut teori  kontruktivisme yaitu pengetahuan baru dikontruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan kontaktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk mengkontruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan pembelajaran kontruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing.  Guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Berikut tabel peranan peserta didik dan guru dalam pembelajaran konstruktivisme
Peranan siswa
Peranan guru
Berinisiatif mengenmukakan masalah atau pokok pikiran yang dikemukakan sejelas mungkin agar teman sekelasnya dapat turut serta menganalisis dan menjawabnya
Membantu peserta didik dalam penyelesaian suatu masalah atau pokok pikiran apabila mereka mengalami jalan buntu
Bertanggung jawab sendiri terhadap kegiatan belajarnya atau penyelesaian suatu masalah
Merancang skenario pembelajaran agar peserta didik merasa bertanggung jawab sendiri dalam pembelajarannya
Secara aktif bersama dengan teman sekelasnya mendiskusikan penyelesaian masalah atau pokok pikiran yang mereka munculkan, dan apabila dirasa perlu dapat menanyakannya kepada guru
Mendorong peserta didik agar dapat mengemukakan masalah serta pokok pikiran kemudian menganalisis dan menjawabnya sendiri
Atas inisiatis sendiri dan mandiri berupaya memperoleh pemahaman yang mendalam (deep understanding) terhadap suatu topik atau masalah belajar
Mendorong peserta didik agar mau mengemukakan atau menemukan masalah atau  pokok  pikiran untuk diselesaikan dalam proses pembelajaran dikelas
Secara langsung belajar saling mengukuhkan pemikiran diantara mereka sehingga jiwa sosial antasa siswa semakin berkembang
Mendorong peserta didik untuk belajar secara kooperatif dalam menyelesaikan suatu masalah atau ppokok pikiran yang berkembang dikelas
Secara aktif mengajukan dan menggunakan berbagai hipotesis (kemungkinan jawaban) dalam memecahkan suatu masalah
Mendorong peserta didik agar secara aktif mengerjakan tugas yang menuntut proses analisis, sintesis, dan simpulan penyelesaian
Secara aktif menggunakan berbagai data atau informasi pendukung dalam penyelesaian suatu masalah atau pokok pikiran yang dimunculkan sendiri atau dimunculkan teman sekelas
Mengevaluasi hasil belajar peserta didik baik dalam bentuk penilaian proses maupun dalma bentuk penilaian produk

 Peserta didik akan mengkaitkan materi pembelajaran baru dengan materi  pembelajaran lama yang telah ada. Nik Azis Nik Pa (1999) dalam Sharifah Maimunah (2001:8) menjelaskan tentang kontruktivisme dalam belajar seperti kutipan berikut ini.
“Kontruktivisme adalah tidak lebih dari pada satu komitmen terhadap pandangan bahwa manusia membina pengetahuan sendiri. Ini bermakna bahwa suatu pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang individu adalah hasil daripada aktiviti yang dilakukan oleh individu tersebut, dan bukan sesuatu maklumat atau pengajaran yang diterima secara pasif daripada luar. Pengetahuan tidak boleh dipindahkan daripada pemikiran seseorang individu kepada pemikiran individu yang lain. Sebaliknya setiap insan membentuk pengetahan sendiri dengan menggunakan pengalamannya secara terpilih.”
Pendapat Nik Azis Nik Pa seperti dikutip di atas menunjukkan bahwa keaktifan peserta didik menjadi syarat utama dalam pembelajaran kontruktivisme. Peranan guru sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkontruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Dengan kata lain dalam pembelajaran kontruktivisme peserta didik memegang peran kunci dalam mencapai kesuksesan belajarnya, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Terjadinya pergeseran peranan guru dalam pembelajaran kontruktivisme tentunya membawa dampak tertentu, misalnya guru merasa beban belajarnya menjadi ringan karena membiarkan peserta didik untuk belajar sendiri. Hal ini tidak perlu terjadi karena perspektif kontruktivisme dalam pembelajaran di sekolah menitik beratkan pada pengalaman pendidikan yang dirancangenguasai ilmu pengetahuan. Peserta didik didorong agar berperan serta secara aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan sedangkan guru hanya akan memainkan peran sebagai pembimbing atau fasilitator dalam memperkembangkan pengethuan yang telah ada dalam diri peserta didik.
Pandangan tentang belajar dalam teori belajar konstruktivisme apabila dibandingkan dengan teori belajar behaviorisme dan kognitivisme. Teori belajar lebih memperhatikan tingkah laku yang teramati, , dan teori belajar kognitivisme lebih memperhatikan tingkah laku dalam memperoses informasi atau pengetahuan yang sedang dipelajari peserta didik tanpa mempertimbangkan pengetahuan atau informasi yang telah dikuasai sebelumnya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar kontruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pengetahuan guru ke pkian peserta didik. Artinya bahwa peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuan berdasarkan kematangan kognitif yang dimilkinya. Dengan kata lain, peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Sehubungan dengan hal tersebut, Tasker  (1992:30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar kontruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif peserta didik dalam mengkontruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkontruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (1991:12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar kontraktivisme. Pertama pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif peserta didik. Kedua, kognisi bersifat adaktif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkontruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996:20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki peserta didik, (5) mendorong peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Diharapkan melalui pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik dapat tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki sifat-sifat antara lain:
  1. Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan selalu diperbaharui
  2. Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi segala sesuatu
  3. Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain
  4. Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas yang dihadapinya.
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8). 
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu pada teori belajar kontruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan peserta didik dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain peserta didik lebih didorong untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi.
2.2 Teori Humanisme
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Teori belajar humanisme memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan potensi psikis yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif.  Salah seorang tokoh teori belajar humanisme adalah Carl Ransom Rogers (1902-1987) yang lahir di Oak Part, Iiiinois, Chicago, Amerika Serikat. Rogers terkenal sebagai orang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis . ide dan konsep teorinya banyak di dapatkan dalam pengalaman -pengalaman  terapeutiknya yang banyak dipengaruhi oleh teori kebutuhan (needs) yang diperkenalkan Abraham H. Maslow.
            Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar  (physiological need) sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization) setiap indidvidu mempunyai keinginan untuk  mengaktualisasi  diri, yang oleh carl R. rogers disebut dorongan untuk menjadi diri sendiri  (to becoming a person). Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti diri sendiri masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya diciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengaktualisasi dirinya.
            Aktualisasi diri merupakan suatu proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik. Proses aktualisasi diri seorang berkembang sejalan dengan perkembangan hidupnya karena setiap individu, dilahirkan disertai potensi tumbuk-kembang  baik secara fisik maupun secara phisikn masing-masing. Proses tumbuh-kembang pada setiap invidu mengikuti tahapan, arah, irama, dan tempo sendiri-sendiri, yang ditandai oleh berbagai cirri atau karakteristiknya masing-masing. Ada individu yang tempo perkembangannya cepat tetapi iramanya tidak stabil dan arahnya tidak menentu, dan  ada pula individu yang tempo perkembangannya  tidak cepat tetapi irama dan arahnya jelas.
Pendekatan humanism dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika siswa memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada salah satu ide penting dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harus mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa mengetahui apa yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut dapat memahaminya. Dan juga siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Dengan demikian maka siswa diharapkan mendapat manfaat dan kegunaan dari hasil belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang meliputi bagian/domain yang ada yaitu dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan kata lain, pendekatan humanismmenekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa. Sehingga para pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan hasil belajar yang dicapai siswa.
Dalam kaitannya dengan proses pendidikan formal (sekolah), Slavin (1994:70-110) mengelompokkan tahapan perkembangan anak, yaitu
 (1) tahapan early childhood,
(2) Tahapan middle childhood
(3)tahap  adolescence, dengan dimensi utama perkembangan mencangkup
            (a) dimensi kognitif
            (b) dimensi fisik          ,
            (c) dimensi sosio emosi
            Pada tahapan early childhood, perkembangan individu dalam dimensi perkembangan kognitif lebih ditandai oleh penguasaan bahasa (language aquisition). Individu pada tahapan perkembangan ini mendapatkan banyak sekali  perbendaharaan bahasa.  Sejak lahir sampai pada usia 2 tahun biasanya individu (bayi) mcoba memahami dunia sekitarnya melalui pengunaan rasa. Pengetahuan atau apa yang diketahui lebih banyak didasarkan pada gerafik fisik, dan apa yang dipahaminya terbatas pada kejadian yang baru saja dialaminya. Pada saat memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak sekitar usia 3-4 tahun, individu telah memiliki kemampuan berbahasa baik dalam komunikasi verbal maupun komunikasi twrtulis. Kemampuan komunikasi verbal berkembang lebih dahulun pada usia sekitar 3 tahun, yang ditandai oleh keterampilan berbicara. Selanjutnya pada saat memasuki SD kelas 1 individu pada umumnya telah memiliki kemampuan menggunakan dan memahami sejumlah kalimat sederhana, kemampuan melakukan percakapan, dan kemampuan mengetahui  kalimat tertulis.
            Dalam dimensi perkembangan fisik, perkembangan individu lebih ditandai oleh perubahan penampilan tubuh dan penguasaan keterampilan gerak ( motor skills). Pada masa-masa awal masuk sekolah, antar individu yang satu relative sama dengan individu lainnya dalam dalam hal perkembangan penguasaan keterampilan gerak. Akan tetapi apabila diperhatikan secara seksama akan dapat dilihat adanya perbedaan kecepatan dan ketepatan penguasaan keterampilan gerak tertentu di  antara individu yang satu dengan yang yang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan mereka selalu terdorong untuk bergerak dan tidak dapat bertahan lama dalam satu posisi tubuh tertentu. Misalnya, ada individu yang tidak dapat duduk dalam kurun waktu yang lama tetapi ada pula individu yang bertahan duduk dalam waktu relative lama dari yang lainnya. Pada umumnya mereka cendrung untuk selalu bergerak seperti berlari, bergerak, meluncur, memanjat, atau berguling. Gerakan mereka cendrung tidak terstruktur atau tidak beraturan karena gerakan lebih berpusat pada otot-otot gerak besar seperti otot kaki atau otot lengan.  Otot-otot gerak kecil seperti otot penglihatan atau pendengaran cendrung tidak mengalami perkembangan yang menonjol pada tahapan perkembangan early childhood.
Dalam dimensi perkembangan sosioemosi, individu mengalami kesulitan pada awal masuk sekolah karena hubungan social-emosional mereka terbatas pada hubungan dekat  seperti dengan orangtua atau orang-orang tertentu yang sering berkomunikasi dengannya. Keberhasilan seorang anak memasuki lingkungan sosial baru yaitu sekolah, turut dipengaruhi oleh pola asuh yang digunakan orangtua masing-masing dirumah. Oleh sebab itu, sekolah harus mampu membangun  hubungan kolaboratif dengan pihak keluarga dengan melakukan kegiatan antara lain.
            1. bekerjasama dengan orangtua menyiapkan anak-anak untuk memasuki lingkungan sosial disekolah, membangun kondisi lingkungan rumah yang memungkinkan proses belajar dan pembentukan perilaku disekolah.
            2. menginformasikan program sekolah dan kemajuan anak, baik melalui kunjungan rumah , kartu laporan komulatif, ataupun melalui pertemuan khusus antara guru dan orangtua di sekolah.
            3. melakukan erbagai kegiatan di sekolah yang memungkinkan keterlibatan orangtua berperan secara aktif, seperti acara lomba kesenian, lomba olahraga, atau kegiatan intrakurikuler lainnya.
            4. sekolah membantu orangtua dalam mengawasi kegiatan belajar anak di rumah, seperti pemberian pekerjaan rumah yang hasil pekerjaan anak di rumah tersebut harus ditandatangani orangtua masing-masing.
            5. melibatkan orangtua dalam penyusunan program sekolah  seperti melalui komite sekolah atau dewan pendidikan setempat.
            6. membentuk  berbagai organisasi  sosial yang dapat mengelola kegiatan-kegiatan sosial seperti penanggulangan kenakalan remaja, atau kegiatan budaya lainnya.
Pada tahapan perkembangan middle childhoods, perkembangan kognitif seseorang mulai bergeser keperkembangan proses berfikir. Pada awalnya proses berfikir individu pada tahapan perkembangan ini di mulai dengan hal-hal konkrit operasional, dan selanjutnya ke hal-hal abstrak konseptual. Apabila individu gagal dalam perkembangan proses berfikir dalam hal-hal konkrit operasional, maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam proses berfikir abstrak konseptual.
            Dalam dimensi perkembangan fisik, terjadi perlambatan perkembangan otot dibandingkan dengan yang terjadi pada tahapan perkembangan tulang dan kerangka tubuh dengan mengabaikan perkembangan otot.  Akibatnya, seringkali individu merasa tubuhnya tidak nyaman apabila berada dalam satu posisi tertentu karena harus bayak gerakan dan latihan untuk menyesuaikan kondisi otot terhadap perkembangan tulang dan kerangka tubuh yang sedang berada pada masa peka berkembang. Pada awalnya perkembangan tulang dan kerangka tubuh relative sama antara individu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi menjelang akhir tahapan perkembangan , perkembangan tulang dan kerangka tubuh perempuan lebih cepat dibandingkan laki-laki, sehinga perempuan lebih cepat mencapai puncak pertumbuhan tulang dan kerangka tubuhnya dibandingkan dengan laki-laki.
            Dalam dimensi perkembangan sosioemosi, egosentrik individu menjadi sangat menonjol dalam berprilaku. Di dalam individu mulai tumbuh kesadaran bahwa dirinya adalah dirinya sendiri yang berbeda dengan orang lain sehinga cendrung tidak mau dipengaruhi atau di tolong oleh orang lain. Individu mulai berusaha untuk melakukan sendiri segala sesuatu, dan mulai membangun wilayah kepemilikan pribadi. Individu mulai berupaya menyusun dan menemukan konsep diri dan jati diri berdasarkan standar atau norma yang di tetapkannya sendiri. Itulah sebabnya, pada tahapan perkembangan ini sering kali terjadi pertentangan orangtua dan anak dirumah.
Pada tahapan perkembangan adolescence, perkembangan kognitif lebih ditandai oleh perkembangan fungsi otak sebagai instrument berfikir. Berfikir formal operasional atau berfikir abstrak konseptual mulai berkembang di samping itu mulai berkembang pola fikir reasoning (penalaran) baik secara induktif (khusus=> umum) maupun secara deduktif( umum=> khusus). Dalam menghadapi segala kejadian atau pengalaman tertentu, individu mengajukan hipotesis atau jawaban sementara yang mengunakan pola fikir deduktif . keterampilan individu menerapkan pola fikir formal operasional di atas sangat di tentukan oleh penguasaan keterampilan menerapkan pola piker konkrit operasional pada tahapan perkembangan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa keberhasilan individu menguasai dasar-dasar keterampilan berpikir dalam dimensi perkembangan kognitif pada tahapan perkembangan sangat mempengaruhi keberhasilan individu dalam dimensi perkembangan kognitif pada tahapan perkembangan. Dengan kata lain, keberhasilan individu dalam kegiatan akademik atau belajar sangat tdi tentukan oleh keberhasilannya dalam kegiatan akademik atau belajar pada jenjang pendidikan dasar.
            Dalam dimensi perkembangan phisik pada tahapan perkembangan adolescence, cirri-ciri phisik dalam proses reproduksi memasuki masa peka untuk berkembang kearah kematangan seksual yang sesuai dengan jenis kelamin masing-masing individu. Berbagai perubahan postur tubuh di alami oleh individu, dan sering kali menyebabkan merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitas. Hal ini terjadi karena pengaruh perkembangan hormonal yang begitu menonjol pada bagian bagian tubuh tertentu.
            Dalam dimensi perkembangan sosioemosi pada tahapan perkembangan adolescence , individu mulai menyadari dan menganalisis secara reflektif apa yang terjadi pada dirinya dan apa yang dipikirkannya. Di dalam diri individu mulai muncul kesadaran perbedaan karakteristik individualnya yang berbeda dengan karakteristik individual orang lain di sekitarnya. Individu mulai mengkaji keberadaan dirinya (tubuh, pikiran, perasaan dan perilaku) yangb berbeda dengan keberadaan diri orang lain. Identitas diri mulai terbentuk dalam diri masing-masing individu.
            Ada individu yang berasil membentuk ego identitasnya dengan jelas tetapi ada pula individu yang gagal dalam membentuk ego identitasnya. Kegagalan individu membentuk ego identitasnya berawal dari kegagalan dalam merumuskan konsep diri secara benar dan tepat. Akibatnya, kegagalan dalam membentuk ego indentitasnya ini dapat menyebabkan gaguan psikologis, mulai dari yang bertaraf rendah (tidak tenang, cemas, ragu-ragu, curiga, dan sejenisnya) sampai yang bertaraf menengah serta bertaraf tinggi (sakit jiwa).
Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
            Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiriSiswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar