BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Teori Konstruktivisme
Konsep
dasar belajar menurut teori
kontruktivisme yaitu pengetahuan baru dikontruksi sendiri oleh peserta
didik secara aktif berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan
kontaktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa tiap
individu memiliki kemampuan untuk mengkontruksi kembali pengalaman atau
pengetahuan yang dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan pembelajaran
kontruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik
untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan
yang telah ada dalam diri mereka masing-masing. Guru hanya sebagai
fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta didik
secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri
informasi, dan mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan
pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Berikut tabel peranan peserta
didik dan guru dalam pembelajaran konstruktivisme
Peranan siswa
|
Peranan guru
|
Berinisiatif mengenmukakan masalah atau pokok pikiran yang dikemukakan
sejelas mungkin agar teman sekelasnya dapat turut serta menganalisis dan
menjawabnya
|
Membantu peserta didik dalam penyelesaian suatu masalah atau pokok
pikiran apabila mereka mengalami jalan buntu
|
Bertanggung jawab sendiri terhadap kegiatan belajarnya atau penyelesaian
suatu masalah
|
Merancang skenario pembelajaran agar peserta didik merasa bertanggung
jawab sendiri dalam pembelajarannya
|
Secara aktif
bersama dengan teman sekelasnya mendiskusikan penyelesaian masalah atau pokok
pikiran yang mereka munculkan, dan apabila dirasa perlu dapat menanyakannya
kepada guru
|
Mendorong peserta didik agar dapat mengemukakan masalah serta pokok
pikiran kemudian menganalisis dan menjawabnya sendiri
|
Atas inisiatis
sendiri dan mandiri berupaya memperoleh pemahaman yang mendalam (deep
understanding) terhadap suatu topik atau masalah belajar
|
Mendorong peserta didik agar mau mengemukakan atau menemukan masalah
atau pokok pikiran untuk diselesaikan dalam proses
pembelajaran dikelas
|
Secara langsung
belajar saling mengukuhkan pemikiran diantara mereka sehingga jiwa sosial
antasa siswa semakin berkembang
|
Mendorong peserta didik untuk belajar secara kooperatif dalam
menyelesaikan suatu masalah atau ppokok pikiran yang berkembang dikelas
|
Secara aktif
mengajukan dan menggunakan berbagai hipotesis (kemungkinan jawaban) dalam
memecahkan suatu masalah
|
Mendorong peserta didik agar secara aktif mengerjakan tugas yang menuntut
proses analisis, sintesis, dan simpulan penyelesaian
|
Secara aktif
menggunakan berbagai data atau informasi pendukung dalam penyelesaian suatu
masalah atau pokok pikiran yang dimunculkan sendiri atau dimunculkan teman
sekelas
|
Mengevaluasi hasil belajar peserta didik baik dalam bentuk penilaian
proses maupun dalma bentuk penilaian produk
|
Peserta didik akan mengkaitkan materi
pembelajaran baru dengan materi
pembelajaran lama yang telah ada. Nik Azis Nik Pa (1999) dalam Sharifah
Maimunah (2001:8) menjelaskan tentang kontruktivisme dalam belajar seperti
kutipan berikut ini.
“Kontruktivisme
adalah tidak lebih dari pada satu komitmen terhadap pandangan bahwa manusia
membina pengetahuan sendiri. Ini bermakna bahwa suatu pengetahuan yang dipunyai
oleh seseorang individu adalah hasil daripada aktiviti yang dilakukan oleh
individu tersebut, dan bukan sesuatu maklumat atau pengajaran yang diterima
secara pasif daripada luar. Pengetahuan tidak boleh dipindahkan daripada
pemikiran seseorang individu kepada pemikiran individu yang lain. Sebaliknya
setiap insan membentuk pengetahan sendiri dengan menggunakan pengalamannya secara
terpilih.”
Pendapat
Nik Azis Nik Pa seperti dikutip di atas menunjukkan bahwa keaktifan peserta
didik menjadi syarat utama dalam pembelajaran kontruktivisme. Peranan guru
sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan peserta
didik secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi
sendiri informasi, dan mengkontruksinya menjadi pengetahuan yang baru
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Dengan kata lain
dalam pembelajaran kontruktivisme peserta didik memegang peran kunci dalam
mencapai kesuksesan belajarnya, sedangkan guru hanya berperan sebagai
fasilitator.
Terjadinya
pergeseran peranan guru dalam pembelajaran kontruktivisme tentunya membawa dampak
tertentu, misalnya guru merasa beban belajarnya menjadi ringan karena
membiarkan peserta didik untuk belajar sendiri. Hal ini tidak perlu terjadi
karena perspektif kontruktivisme dalam pembelajaran di sekolah menitik beratkan
pada pengalaman pendidikan yang dirancangenguasai ilmu pengetahuan. Peserta
didik didorong agar berperan serta secara aktif dalam proses pembelajaran,
sedangkan sedangkan guru hanya akan memainkan peran sebagai pembimbing atau
fasilitator dalam memperkembangkan pengethuan yang telah ada dalam diri peserta
didik.
Pandangan
tentang belajar dalam teori belajar konstruktivisme apabila dibandingkan dengan
teori belajar behaviorisme dan kognitivisme. Teori belajar lebih memperhatikan
tingkah laku yang teramati, , dan teori belajar kognitivisme lebih
memperhatikan tingkah laku dalam memperoses informasi atau pengetahuan yang
sedang dipelajari peserta didik tanpa mempertimbangkan pengetahuan atau
informasi yang telah dikuasai sebelumnya.
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar kontruktivisme, pengetahuan tidak
dapat dipindahkan begitu saja dari pengetahuan guru ke pkian peserta didik.
Artinya bahwa peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuan berdasarkan kematangan kognitif yang dimilkinya. Dengan kata lain,
peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Sehubungan dengan hal
tersebut, Tasker (1992:30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar kontruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif
peserta didik dalam mengkontruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah
pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkontruksian secara bermakna.
Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (1991:12) mendukung pendapat di
atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori
belajar kontraktivisme. Pertama pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif peserta didik. Kedua, kognisi
bersifat adaktif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang
dimiliki anak. Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya
keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan
pengkontruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.
Dalam upaya
mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996:20) mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba gagasan baru, (4)
memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki peserta
didik, (5) mendorong peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Diharapkan melalui
pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik dapat tumbuh kembang menjadi
individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki sifat-sifat antara lain:
- Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan mengembangkannya
menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan selalu diperbaharui
- Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi
segala sesuatu
- Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu
tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain
- Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas
yang dihadapinya.
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok dalam
teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori
konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka
harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya,
berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja
Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi
kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).
Dari
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
pada teori belajar kontruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan peserta
didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan peserta didik
dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Dengan kata lain peserta didik lebih didorong untuk mengkontruksi sendiri
pengetahuan mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi.
2.2
Teori Humanisme
Menurut
Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya.
Teori
belajar humanisme memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan yang melibatkan
potensi psikis yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif. Salah seorang tokoh teori belajar humanisme
adalah Carl Ransom Rogers (1902-1987)
yang lahir di Oak Part, Iiiinois,
Chicago, Amerika Serikat. Rogers terkenal sebagai orang tokoh psikologi
humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis . ide
dan konsep teorinya banyak di dapatkan dalam pengalaman -pengalaman terapeutiknya yang banyak dipengaruhi oleh
teori kebutuhan (needs) yang
diperkenalkan Abraham H. Maslow.
Menurut
teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat sejumlah kebutuhan
yang tersusun secara berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi
mendasar (physiological need) sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization) setiap indidvidu
mempunyai keinginan untuk
mengaktualisasi diri, yang oleh
carl R. rogers disebut dorongan untuk menjadi diri sendiri (to
becoming a person). Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya
sendiri, karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti diri sendiri
masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya
diciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif
mengaktualisasi dirinya.
Aktualisasi diri merupakan suatu
proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi
psikologis yang unik. Proses aktualisasi diri seorang berkembang sejalan dengan
perkembangan hidupnya karena setiap individu, dilahirkan disertai potensi
tumbuk-kembang baik secara fisik maupun
secara phisikn masing-masing. Proses tumbuh-kembang pada setiap invidu
mengikuti tahapan, arah, irama, dan tempo sendiri-sendiri, yang ditandai oleh
berbagai cirri atau karakteristiknya masing-masing. Ada individu yang tempo
perkembangannya cepat tetapi iramanya tidak stabil dan arahnya tidak menentu,
dan ada pula individu yang tempo
perkembangannya tidak cepat tetapi irama
dan arahnya jelas.
Pendekatan humanisme dalam pendidikan
menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi
manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan
mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal
sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri,
menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan
membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan
karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap
berhasil jika siswa memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami
perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Ada salah satu ide penting
dalam teori belajar humanisme yaitu siswa harus mampu untuk mengarahkan
dirinya sendiri dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa mengetahui apa
yang dipelajarinya serta tahu seberapa besar siswa tersebut dapat memahaminya.
Dan juga siswa dapat mengetahui mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar.
Dengan demikian maka siswa diharapkan mendapat manfaat dan kegunaan dari hasil
belajar bagi dirinya sendiri. Aliran humanisme memandang belajar sebagai sebuah
proses yang terjadi dalam individu yang meliputi bagian/domain yang ada yaitu
dapat meliputi domain kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan kata lain, pendekatan humanisme menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi
terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode
pembelajaran humanistik mengarah pada upaya untuk mengasah nilai-nilai
kemanusiaan siswa. Sehingga para
pendidik/guru diharapkan dalam pembelajaran lebih menekankan nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan
menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses
pembelajaran sehingga
menghasilkan suatu proses pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan dan
hasil belajar yang dicapai siswa.
Dalam
kaitannya dengan proses pendidikan formal (sekolah), Slavin (1994:70-110)
mengelompokkan tahapan perkembangan anak, yaitu
(1) tahapan early childhood,
(2)
Tahapan middle childhood
(3)tahap adolescence,
dengan dimensi utama perkembangan mencangkup
(a) dimensi kognitif
(b) dimensi fisik ,
(c) dimensi sosio emosi
Pada tahapan early childhood,
perkembangan individu dalam dimensi perkembangan kognitif lebih ditandai oleh
penguasaan bahasa (language aquisition). Individu pada tahapan perkembangan ini
mendapatkan banyak sekali perbendaharaan
bahasa. Sejak lahir sampai pada usia 2
tahun biasanya individu (bayi) mcoba memahami dunia sekitarnya melalui
pengunaan rasa. Pengetahuan atau apa yang diketahui lebih banyak didasarkan
pada gerafik fisik, dan apa yang dipahaminya terbatas pada kejadian yang baru
saja dialaminya. Pada saat memasuki sekolah Taman Kanak-Kanak sekitar usia 3-4
tahun, individu telah memiliki kemampuan berbahasa baik dalam komunikasi verbal
maupun komunikasi twrtulis. Kemampuan komunikasi verbal berkembang lebih
dahulun pada usia sekitar 3 tahun, yang ditandai oleh keterampilan berbicara.
Selanjutnya pada saat memasuki SD kelas 1 individu pada umumnya telah memiliki
kemampuan menggunakan dan memahami sejumlah kalimat sederhana, kemampuan
melakukan percakapan, dan kemampuan mengetahui
kalimat tertulis.
Dalam dimensi perkembangan fisik,
perkembangan individu lebih ditandai oleh perubahan penampilan tubuh dan
penguasaan keterampilan gerak ( motor skills). Pada masa-masa awal masuk
sekolah, antar individu yang satu relative sama dengan individu lainnya dalam
dalam hal perkembangan penguasaan keterampilan gerak. Akan tetapi apabila
diperhatikan secara seksama akan dapat dilihat adanya perbedaan kecepatan dan
ketepatan penguasaan keterampilan gerak tertentu di antara individu yang satu dengan yang yang
lainnya. Hal inilah yang menyebabkan mereka selalu terdorong untuk bergerak dan
tidak dapat bertahan lama dalam satu posisi tubuh tertentu. Misalnya, ada
individu yang tidak dapat duduk dalam kurun waktu yang lama tetapi ada pula
individu yang bertahan duduk dalam waktu relative lama dari yang lainnya. Pada
umumnya mereka cendrung untuk selalu bergerak seperti berlari, bergerak,
meluncur, memanjat, atau berguling. Gerakan mereka cendrung tidak terstruktur
atau tidak beraturan karena gerakan lebih berpusat pada otot-otot gerak besar
seperti otot kaki atau otot lengan.
Otot-otot gerak kecil seperti otot penglihatan atau pendengaran cendrung
tidak mengalami perkembangan yang menonjol pada tahapan perkembangan early childhood.
Dalam
dimensi perkembangan sosioemosi, individu mengalami kesulitan pada awal masuk
sekolah karena hubungan social-emosional mereka terbatas pada hubungan
dekat seperti dengan orangtua atau
orang-orang tertentu yang sering berkomunikasi dengannya. Keberhasilan seorang
anak memasuki lingkungan sosial baru yaitu sekolah, turut dipengaruhi oleh pola
asuh yang digunakan orangtua masing-masing dirumah. Oleh sebab itu, sekolah
harus mampu membangun hubungan kolaboratif
dengan pihak keluarga dengan melakukan kegiatan antara lain.
1. bekerjasama dengan orangtua
menyiapkan anak-anak untuk memasuki lingkungan sosial disekolah, membangun
kondisi lingkungan rumah yang memungkinkan proses belajar dan pembentukan
perilaku disekolah.
2. menginformasikan program sekolah
dan kemajuan anak, baik melalui kunjungan rumah , kartu laporan komulatif,
ataupun melalui pertemuan khusus antara guru dan orangtua di sekolah.
3. melakukan erbagai kegiatan di
sekolah yang memungkinkan keterlibatan orangtua berperan secara aktif, seperti
acara lomba kesenian, lomba olahraga, atau kegiatan intrakurikuler lainnya.
4. sekolah membantu orangtua dalam
mengawasi kegiatan belajar anak di rumah, seperti pemberian pekerjaan rumah
yang hasil pekerjaan anak di rumah tersebut harus ditandatangani orangtua
masing-masing.
5. melibatkan orangtua dalam
penyusunan program sekolah seperti
melalui komite sekolah atau dewan pendidikan setempat.
6. membentuk berbagai organisasi sosial yang dapat mengelola kegiatan-kegiatan
sosial seperti penanggulangan kenakalan remaja, atau kegiatan budaya lainnya.
Pada
tahapan perkembangan middle childhoods,
perkembangan kognitif seseorang mulai bergeser keperkembangan proses berfikir.
Pada awalnya proses berfikir individu pada tahapan perkembangan ini di mulai
dengan hal-hal konkrit operasional, dan selanjutnya ke hal-hal abstrak
konseptual. Apabila individu gagal dalam perkembangan proses berfikir dalam
hal-hal konkrit operasional, maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam
proses berfikir abstrak konseptual.
Dalam dimensi perkembangan fisik,
terjadi perlambatan perkembangan otot dibandingkan dengan yang terjadi pada
tahapan perkembangan tulang dan kerangka tubuh dengan mengabaikan perkembangan
otot. Akibatnya, seringkali individu
merasa tubuhnya tidak nyaman apabila berada dalam satu posisi tertentu karena
harus bayak gerakan dan latihan untuk menyesuaikan kondisi otot terhadap
perkembangan tulang dan kerangka tubuh yang sedang berada pada masa peka
berkembang. Pada awalnya perkembangan tulang dan kerangka tubuh relative sama
antara individu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi menjelang akhir tahapan
perkembangan , perkembangan tulang dan kerangka tubuh perempuan lebih cepat
dibandingkan laki-laki, sehinga perempuan lebih cepat mencapai puncak
pertumbuhan tulang dan kerangka tubuhnya dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam dimensi perkembangan
sosioemosi, egosentrik individu menjadi sangat menonjol dalam berprilaku. Di
dalam individu mulai tumbuh kesadaran bahwa dirinya adalah dirinya sendiri yang
berbeda dengan orang lain sehinga cendrung tidak mau dipengaruhi atau di tolong
oleh orang lain. Individu mulai berusaha untuk melakukan sendiri segala
sesuatu, dan mulai membangun wilayah kepemilikan pribadi. Individu mulai berupaya
menyusun dan menemukan konsep diri dan jati diri berdasarkan standar atau norma
yang di tetapkannya sendiri. Itulah sebabnya, pada tahapan perkembangan ini
sering kali terjadi pertentangan orangtua dan anak dirumah.
Pada
tahapan perkembangan adolescence,
perkembangan kognitif lebih ditandai oleh perkembangan fungsi otak sebagai
instrument berfikir. Berfikir formal operasional atau berfikir abstrak
konseptual mulai berkembang di samping itu mulai berkembang pola fikir reasoning (penalaran) baik secara
induktif (khusus=> umum) maupun secara deduktif( umum=> khusus). Dalam
menghadapi segala kejadian atau pengalaman tertentu, individu mengajukan
hipotesis atau jawaban sementara yang mengunakan pola fikir deduktif .
keterampilan individu menerapkan pola fikir formal operasional di atas sangat
di tentukan oleh penguasaan keterampilan menerapkan pola piker konkrit
operasional pada tahapan perkembangan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa
keberhasilan individu menguasai dasar-dasar keterampilan berpikir dalam dimensi
perkembangan kognitif pada tahapan perkembangan sangat mempengaruhi
keberhasilan individu dalam dimensi perkembangan kognitif pada tahapan
perkembangan. Dengan kata lain, keberhasilan individu dalam kegiatan akademik
atau belajar sangat tdi tentukan oleh keberhasilannya dalam kegiatan akademik
atau belajar pada jenjang pendidikan dasar.
Dalam dimensi perkembangan phisik
pada tahapan perkembangan adolescence, cirri-ciri phisik dalam proses
reproduksi memasuki masa peka untuk berkembang kearah kematangan seksual yang
sesuai dengan jenis kelamin masing-masing individu. Berbagai perubahan postur
tubuh di alami oleh individu, dan sering kali menyebabkan merasa tidak nyaman
dalam melakukan aktifitas. Hal ini terjadi karena pengaruh perkembangan hormonal
yang begitu menonjol pada bagian bagian tubuh tertentu.
Dalam dimensi perkembangan
sosioemosi pada tahapan perkembangan adolescence
, individu mulai menyadari dan menganalisis secara reflektif apa yang
terjadi pada dirinya dan apa yang dipikirkannya. Di dalam diri individu mulai
muncul kesadaran perbedaan karakteristik individualnya yang berbeda dengan
karakteristik individual orang lain di sekitarnya. Individu mulai mengkaji
keberadaan dirinya (tubuh, pikiran, perasaan dan perilaku) yangb berbeda dengan
keberadaan diri orang lain. Identitas diri mulai terbentuk dalam diri
masing-masing individu.
Ada individu yang berasil membentuk
ego identitasnya dengan jelas tetapi ada pula individu yang gagal dalam
membentuk ego identitasnya. Kegagalan individu membentuk ego identitasnya
berawal dari kegagalan dalam merumuskan konsep diri secara benar dan tepat.
Akibatnya, kegagalan dalam membentuk ego indentitasnya ini dapat menyebabkan
gaguan psikologis, mulai dari yang bertaraf rendah (tidak tenang, cemas, ragu-ragu,
curiga, dan sejenisnya) sampai yang bertaraf menengah serta bertaraf tinggi
(sakit jiwa).
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama
(student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan
siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan
meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Pembelajaran
berdasarkan teori humanisme ini
cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi
manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar